1. Pendahuluan
Hubungan-hubungan bisnis dilakukan karena mempunyai kepentingan dan tujuan untuk saling mencari keuntungan satu sama lain. Tujuan lain seperti untuk mempercepat proses pemasaran produknya ke masyarakat luas. Ada juga yang bertujuan membantu pihak lain karena tidak diizinkannya pihak lain memasarkan produknya di suatu negara. Namun ada pula yang melakukannya karena ketidakmampuannya untuk berbisnis, ataupun masalah permodalannya.
2. Keagenan/ Distributor
Latar belakang terjadinya hubungan bisnis keagenan ini disebabkan oleh adanya pihak luar negeri yang tidak diperbolehkan untuk menjual barangnya secara langsung. Dalam kegiatan bisnis, keagenan biasanya diartikan sebagai suatu hubungan hukum di mana biasanya seseorang/ pihak agen diberi kuasa bertindak untuk dan atas nama orang/ pihak prinsipal untuk melaksanakan transaksi bisnis dengan pihak lain.
Sedangkan, seorang distributor tidak bertindak untuk dan atas nama pihak yang menunjuknya sebagai distributor (biasanya supplier, atau manufacture). Seorang distributor bertindak untuk dan atas nama sendiri.
Dalam perjanjian bisnis yang diadakan antara agen/ distributor dengan prinsipalnya, biasanya dilakukan dengan membuat suatu kontrak tertulis yang isinya ditentukan oleh para pihak sesuai dengan kepentingan para pihak tersebut, asal tidak bertentangan dengan hukum dan kesusilaan sesuai Pasal 1388 KUHPerdata.
Bila pihak asing ingin menunjuk seorang agen/ distributor di Indonesia, maka menurut Surat Keputusan Menteri Perdagangan Nomor 77/Kp/III/78, tanggal 9 MAret 1978, ditentukan lamanya perjanjian harus dilakukan untuk jangka waktu 3 tahun.
Dalam perjanjian, para pihak akan merumuskan secara jelas peristiwa apa saja yang menjadi perselisihan (events of defaults) yang memberikan dasar bagi masing-masing pihak untuk memutus perjanjian keagenan/ distributor di antara mereka. Yang dikategorikan sebagai events of defaults antara lain:
1. Apabila agen distributor lalai melaksanakan kewajibannya, sebagaimana tercantum pada perjanjian keagenan/ distributor termasuk kewajiban melakukan pembayaran.
2. Apabila agen/ distributor melaksanakan apa yang sebenarnya tidak boleh dilakukan.
3. Apabila para pihak jatuh pailit.
4. Keadaan-keadaan lain yang menyebabkan para pihak tidak dapat melaksanakan apa yang menjadi kewajiban-kewajibannya.
3. Franchising (Hak Monopoli)
Pada awalnya, franchise dipandang bukan sebagai suatu usaha (bisnis), melainkan sebagai suatu konsep, metode ataupun sistem pemasaran. Franchise merupakan suatu metode untuk memasarkan produk atau jasa ke masyarakat. Lebih spesifik lagi, franchising adalah suatu konsep pemasaran. Sedangkan pakar lain melihat franchise lebih merupakan suatu sistem. Perusahaan yang memberikan lisensi disebut Franchisor dan penyalurnya disebut Franchisee.
British Franchise Association (BFA) mendefinisikan franchise adalah contractual licence yang diberikan oleh suatu pihak (franchisor) kepada pihak lain (franchisee) yang:
a. Mengizinkan franchisee untuk menjalankan usaha selama periode franchise berlangsung, suatu usaha tertentu yang menjadi milik franchisor.
b. Franchisor berhak untuk menjalankan kontrol yang berlanjut selama periode franchise.
c. Mengharuskan franchisor untuk memberikan bantuan pada franchisee dalam melaksanakan usahanya sesuai dengan subjek franchisenya (berhubungan dengan pemberian pelatihan, merchandising atau lainnya).
d. Mewajibkan franchisee untuk secara periodik selama periode franchise berlangsung, membayar sejumlah uang sebagai pembayaran atas franchise atau produk atau jasa yang diberikan oleh franchisor kepada franchisee.
e. Bukan merupakan transaksi antara perusahaan induk (holding company) dengan cabangnya atau antara cabang dari perusahaan induk yang sama, atau antara individu dengan perusahaan yang dikontrolnya.
A. Karakteristik Dasar Franchise
1. Harus ada suatu perjanjian (kontrak) tertulis, yang mewakili kepentingan yang seimbang antara franchisor dengan franchisee.
2. Franchisor harus memberikan pelatihan dalam segala aspek bisnis yang akan dimasukinya.
3. Franchisee diperbolehkan (dalam kendali franchisor) beroperasi dengan menggunakan nama/ merek daganag, format dan atau prosedur, serta segala nama (reputasi) baik yang dimiliki franchisor.
4. Franchisee harus mengadakan investasi yang berasal dari sumber dananya sendiri atau dengan dukungan sumber dana lain (misalnya kredit perbankan).
5. Franchisee berhak secara penuh mengelola bisnisnya sendiri.
6. Franchisee membayar fee dan atau royalty kepada franchisor atas hak yang didapatnya dan atas bantuan yang terus-menerus diberikan oleh franchisor.
7. Franchisee berhak memperoleh daerah pemasaran tertentu di mana ia adalah satu-satunya pihak yang berhak memasarkan barang atau jasa yang dihasilkannya.
8. Transaksi yang terjadi antara franchisor dengan franchisee bukan merupakan transaksi yang terjadi antara cabang dari perusahaan induk yang sama, atau antara individu dengan perusahaan yang dikontrolnya.
B. Keuntungan dan Kerugian Franchise
Setiap hubungan bisnis yang ada selalu saja ada faktor kerugian dan keuntungannya. Demikian juga dengan bisnis franchise, ada keuntungan dan kerugian yang terjadi di dalamnya. Keuntungan dari bisnis franchise antara lain:
1. Diberikannya latihan dan pengarahan yang diberikan oleh franchisor.
2. Diberikannnya bantuan finansial dari franchisor.
3. Diberikannya penggunaan nama perdagangan, produk atau merek yang telah dikenal.
Sedangkan kerugian dalam bisnis franchise antara lain:
1. Adanya program latihan yang dijanjikan oleh franchisor kadangkala jauh dari apa yang diinginkan oleh franchisee.
2. Perincian setiap hari tentang penyelenggaraan perusahaan sering diabaikan.
3. Hanya sedikit sekali kebebasan yang diberikan kepada franchisee untuk menjalankan akal budi mereka sendiri.
4. Pada bisnis franchise jarang mempunyai hak untuk menjual perusahaan kepada pihak ketiga tanpa terlebih dahulu menawarkannya kepada franchisor dengan harga yang sama.
4. Penggabungan Perseroan Terbatas (Joint Venture)
Kata joint-venture berarti berusaha secara bersama-sama. Seorang ahli bernama Friedman membedakan adanya dua macam joint-venture, yaitu:
a. Joint-venture yang tidak melaksanakan penggabungan modal, sehingga kerja sama tersebut hanya terbatas pada know-how yang dibawa ke dalam joint-venture.
b. Jenis kedua adalah joint-venture yang ditandai oleh partisipasi modal.
Untuk membedakan jenis pertama dengan jenis kedua, Friedman menggunakan istilah joint-venture untuk yang pertama, dan equity joint-venture untuk jenis yang kedua.
Istilah joint-venture lainnya seperti Foreign Collaboration, International Enterprise. Misalnya: General Motors Ford Motors, Standard Oil, General Electric, Hitachi .
Joint-venture memiliki tanda-tanda:
a. Adanya perusahaan baru
b. Adanya modal perusahaan joint-venture
c. Bahwa perusahaan-perusahaan pendiri joint-venture tetap memiliki eksistensi dan kemerdekaan masing-masing.
d. Khusus untuk Indonesia , seperti yang dikenal sampai sekarang, joint-venture merupakan kerja sama antara perusahaan domestik dan perusahaan asing, tidak menjadi soal apakah modal pemerintah atau modal swasta.
Alasan-alasan perlunya usaha penggabungan suatu perseroan:
1. memperluas pasaran
2. memperoleh keuntungan-keuntungan pajak
3. sumber-sumber baru bagi barang-barang
4. memperoleh cadangan uang tunai
Pada literatur yang berbeda, menyebutkan adanya 3 bentuk penggabungan usaha suatu badan hukum, yaitu konsolidasi, merger, dan akuisisi.
Konsolidasi berarti bergabungnya dua atau lebih suatu badan usaha menjadi suatu badan usaha baru. Sedangkan merger berarti penggabungan beberapa badan usaha, di mana sampai saat ini peraturan mengenai merger hanya ada untuk usaha di bidang perbankan saja, sesuai dengan SK Menteri Keuangan Nomor: 278/KMK.01/1989 tanggal 25 Maret 1989 dan Surat Edaran Bank Indonesia Nomor: 21/15/BPPD. dan terakhir adalah akuisisi yang berarti pengambilalihan suatu badan usaha oleh badan usaha lain dengan tetap menggunakan nama badan usaha lama.
5. Bangun Guna Serah (Build, Operate and Transfer = BOT)
Menurut Keputusan Menteri Keuangan Nomor: 248/KMK.04/1995 tanggal 2 Juni 1995, disebutkan bahwa yang dimaksud dengan bangun serah guna adalah suatu bentuk perjanjian kerja sama yang dilakukan antara pemegang hak atas tanah dengan investor, yang menyatakan bahwa pemegang hak atas tanah memberikan hak kepada investor untuk mendirikan bangunan selama masa perjanjian bangun guna serah (BOT), dan mengalihkan kepemilikan bangunan tersebut kepada pemegang hak atas tanah setelah masa bangun guna serah berakhir.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan beri komentar tulisan ini!